Prolog...

In this part of pilgrim, I pick up these scattering notes along the pathway. Whether they are friend’s words or mine that is touching and inspiring. Maybe, in these traced footprints, there are memories worth reflected, there is flame that flare up spirits, and there are inspirations that flashing imaginations. Hope you love reading my notes.

One Minute Wisdom

Spoon boy: Do not try and bend the spoon. That's impossible. Instead only try to realize the truth. Neo: What truth? Spoon boy: There is no spoon. Neo: There is no spoon? Spoon boy: Then you'll see that it is not the spoon that bends, it is only yourself.

Menunggu Kematian Guru

SUARA PEMBARUAN DAILY

Menunggu Kematian Guru
Oleh Prih Adiartanto, Ag

Ada hal menarik ketika saya menugasi siswa menggambarkan sosok guru saat membahas materi menulis deskripsi dalam pengajaran di kelas. Sejumlah besar siswa mendeskripsikan guru seperti sosok Oemar Bakri dengan tas hitam, sepeda kumbang, lengkap dengan atribut kesederhanaan, layaknya lirik lagu Iwan Fals itu. Sejumlah siswa lain mendeskripsikan sosok Sarmun, guru nyambi tukang ojek yang pernah diperankan pelawak Basuki dalam sebuah sinetron. Sementara sebagian kecil siswa menggambarkannya sesuai syair Himne Guru baris terakhir: Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.

Tentu saja anak-anak muda yang saya hadapi ini tidak bermaksud guyonan apalagi mengejek. Berbagai persoalan yang dihadapi guru-guru Indonesia hampir setiap hari menghiasi media massa dan setiap istirahat mereka santap di ruang koran atau perpustakaan. Gaji dan tunjangan hidup yang rendah, profesionalitas yang semakin luntur, sampai penghargaan dan status sosial guru yang semakin merosot di mata masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri, citra dan wibawa guru pada masa kolonial lebih tinggi dibandingkan dengan guru sekarang ini. Masa itu, guru adalah profesi yang sangat diidam-idamkan. Soedarminto (1998) mengilustrasikan seorang ibu guru menerima gaji 40gulden, padahal seorang inlander hanya perlu segobang (2,5 sen) untuk hidupnya. Tak heran jika sekolah keguruan menjadi incaran lulusan sekolah terbaik. Di samping fasilitas dan kemudahan yang diperoleh, status guru akan membawanya menuju strata atas dalam kelas masyarakat. Tidak sedikit guru yang kemudian sampai di puncak sebagai pimpinan masyarakat.

Para founding fathers negeri ini pun sebagian besar adalah guru atau setidaknya mengawali kariernya sebagai guru. Sukarno, Presiden pertama RI, pernah menjadi guru semasa pengasingannya di Bengkulan (sekarang Bengkulu). Begitu pula dengan Mohammad Natsir, Perdana Menteri Indonesia pada masa peralihan, adalah guru dan perintis berdirinya sebuah sekolah di Bandung. Soedirman dan A.H. Nasution adalah jenderal-jenderal yang pernah pula menjadi guru. Soedirman adalah guru dan kepala salah satu HIS di Cilacap, sedangkan A.H. Nasution pernah menjadi guru di Bengkulu dan kepala sekolah di Muara Dua, Palembang Hulu. Tidak dapat disangkal pula di antara tokoh-tokoh itu masih ada RM Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara dan KH Ahmad Dahlan, seorang guru yang kiai.

Ironis, jika di masa lalu sekolah keguruan menjadi incaran siswa-siswa berprestasi, sementara IKIP/FKIP beberapa tahun terakhir sedikit sekali dilirik calon mahasiswa. Nama IKIP pun disinyalir tak layak jual lagi, maka berbondong-bondonglah IKIP mengubah diri menjadi universitas.

Ironis pula, jika di masa lalu seorang guru bisa berpenghasilan 40 gulden sebulan, sementara sekarang guru yang mengharap kenaikan gaji atau tunjangan harus berdemo rame-rame ke gedung DPR, mogok mengajar, atau lebih parah lagi harus ngojek atau jadi tukang batu di sela-sela waktu luangnya. Sebuah surat kabar beberapa waktu lalu bahkan secara jelas memberitakan 70 persen pendidik swasta bergaji di bawah UMR.

Wajar jika kemudian tak ada satu pun dari sekian anak muda yang saya hadapi di kelas itu secara tegas mengatakan atau setidaknya berniat menjadi guru. Hampir sebagian besar siswa justru secara eksplisit menulis ketidakinginannya. Ad Maiorem Dei Gloriam (untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar) yang disingkat AMDG sebagai spirit sekolah pun di-pleset-kan menjadi Aku Moh Dadi Guru (aku tidak mau jadi guru).

Dana Pendidikan

Mutu pendidikan Indonesia rendah. Hasil survei PBB tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 180 negara, Indonesia berada pada posisi 102. Ketika mutu pendidikan dinilai rendah, maka sasaran tembak pertama adalah guru. Guru sebagai pelaku utama pendidikan adalah kambing hitam persoalan. Berbagai dakwaan muncul: guru tidak profesional, guru tidak bertanggung jawab mengajar tapi justru nyambi cari objekan.

Guru sendiri yang serba sulit -di satu sisi mencoba menjalankan tugasnya dan di sisi lain mencoba berjuang agar dapurnya tetap ngebul- ganti berteriak, bahwa kurikulum terlalu berat sementara penghasilannya sebagai guru tidak mencukupi. Alhasil, bongkar pasang kurikulum bukan hal asing di negeri ini. Bahkan sampai muncul pameo: ganti menteri pasti ganti kurikulum.

Ketika kurikulum demikian berat membebani guru dan siswa, sementara guru masih disibukkan dengan administrasi pengajaran dan mencari kerja sambilan; bagi siswa yang berlebih dana akan lari ke lembaga-lembaga bimbingan belajar. Ketika lembaga bimbingan belajar menjanjikan cara-cara gampang dan instan untuk mengerjakan suatu hal, siswa akan lebih menaruh minat dan respek pada lembaga itu daripada kepada sekolah atau guru. Lalu, bagaimana dengan mereka yang kekurangan dana? Hasilnya adalah sinyalir beberapa pakar pendidikan yang menyatakan bahwa kurikulum saat ini hanya bisa diikuti tidak lebih dari 10 persen siswa seluruh Indonesia.

Guru semakin terpinggirkan. Sementara persoalan pendidikan (mengajar) bukan sekadar transfer pengetahuan (knowledge), tetapi juga nilai-nilai (value) dan keutamaan-keutamaan hidup. Bagaimana pula ketika tawuran, kekerasan menjadi pilihan ekspresi anak sekolah? Lagi-lagi guru menjadi kambing hitam persoalan, karena pendidikan budi pekerti tidak jalan. Seperti lingkaran setan dan semuanya bermuara pada guru.

Lalu bagaimana soal dana pendidikan? Alokasi anggaran sektor pendidikan dalam APBN masih lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan Asia. Tahun 2000, alokasi anggaran pendidikan Indonesia hanya 6,3 persen dari APBN, sementara Singapura, Thailand, dan Korea Selatan sudah sampai pada angka 20 persen.

Angin segar sebenarnya berhembus ketika menyimak amanat amandemen keempat UUD'45 pasal 31 yang menyatakan bahwa dana pendidikan Indonesia sebesar 20 persen dari total APBN. Tetapi apa mau dikata jika beberapa waktu kemudian di kalangan wakil rakyat pun belum tercapai kesepahaman angka 20 persen itu. Lebih parah, harus dibilang dengan apa lagi jika ternyata banyak terjadi kebocoran dana di lingkungan pendidikan sebagaimana ditemukan BPK hasil pemeriksaan semester I tahun 2002?

Era otonomi daerah (pendidikan) sekarang ini, pengambil kebijakan soal dana, tunjangan kesejahteraan guru lebih banyak dipegang oleh pemerintah daerah (pemda). Akan terpecahkankah keresahan guru selama ini jika potensi masing-masing daerah Indonesia berbeda? Bagaimana pula menyikapi pemda yang birokratis, membatasi sekat-sekat wilayah ruang gerak guru sehingga otonomi justru menghasilkan pengkotak-kotakan guru itu?

Di samping kurikulum dan dana, gurulah yang menjadi pokok persoalan pendidikan di Indonesia. Seorang rektor perguruan tinggi di Jakarta beberapa waktu lalu menilai bahwa guru Indonesia belum menjadi guru cendekiawan karena guru-guru Indonesia tidak dididik untuk menjadi seorang cendekiawan.

Lebih lanjut Direktur Pembina Tenaga Kependidikan dan Keterampilan Perguruan Tinggi Depdiknas menambahkan bahwa kebanyakan guru Indonesia merasa sudah cukup puas dengan mengajar di kelas dan tidak berusaha meningkatkan kemampuannya.

Akar persoalan bisa ditelusuri: bagaimana guru mencapai kompetensi optimal jika pilihan masuk lembaga keguruan sudah alternatif yang kesekian? Bagaimana pula guru bisa mengoptimalkan profesionalitasnya jika energinya harus terbagi untuk bersiasat memenuhi kebutuhan hidup? Beban kerja minimal seorang guru adalah 24 jam per minggu dan di luar itu mereka masih harus mengerjakan tugas-tugas akademik (mengoreksi pekerjaan/tugas siswa), melakukan tugas- tugas pendampingan (membimbing kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan pembinaan lain).

Tidak wajar jika tugas mengajar per jam dihargai maksimal Rp 10.000 sehingga didapat Rp 168.000 (per minggu = sebulan untuk hitungan gaji guru), ditambah dengan tunjangan Rp 75.000; maka penghasilan seorang guru tidak tetap Rp 315.000 per bulan.

Bagaimana guru bisa hidup jika untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) yang layak bagi seorang guru bujang adalah Rp 960.000 per bulan, dan Rp 1,4 juta untuk mereka yang sudah menikah tetapi belum punya anak? Meneriakkan pentingnya profesionalitas guru menyangkut kualifikasi dan kompetensi tentu tidak bisa meniadakan faktor gaji dan kesejahteraan.

Sesungguhnya yang diperlukan guru saat ini adalah pemberian kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas, serta peningkatan kesejahteraan sampai pada taraf di mana guru tidak perlu lagi membagi konsentrasi dan energinya ke hal-hal lain selain pada fungsi "mendidik"-nya.

Ketika melihat sekolah tidak berfungsi sebagaimana mestinya, Roem (2001) menyebutnya sebagai sekolah sudah mati. Lalu, harus dikatakan dengan apa jika guru pun sudah tidak berperan sebagaimana mestinya? Menjadi terlalu kasar jika kemudian dikatakan guru sudah mati. Tetapi bukan tidak mungkin jika persoalan yang menimpa guru di negeri ini tidak kunjung terpecahkan, Oemar Bakri atau pak guru Sarmun tak lagi punya sepeda kumbang atau motor ojek. Kedua kendaraan itu sudah digadaikan untuk membiayai pengobatan sakitnya.

Sementara mereka berdua tak kunjung sembuh, bahkan sekarat tergeletak tak berdaya di balai-balai menunggu ajal! Bukan tidak mungkin pula Himne Guru yang megah dan syahdu itu berangsur-angsur berganti menjadi lagu requiem yang menyayat kalbu.***

Penulis adalah guru dan staf Litbang SMU Kolese de Britto Yogyakarta.

Last modified: 17/12/2002

0 komentar:

Posting Komentar