Pendidikan Berkeadilan Sosial
Berbagi pengalaman:
Pengantar
Pendidikan perlu membuat manusia terkejut, mengapa ia begitu tertutup, padahal kesadarannya menuntut, hanya bila mau terbuka maka ia akan bahagia. Pendidikan juga perlu membuat manusia kaget, mengapa ia begitu takut, padahal kesadarannya menuntut agar ia berani untuk memperjuangkan hidupnya. Pendidikan juga harus membuat ia benci terhadap dirinya sendiri, mengapa ia membenci dan menindas orang lain, padahal kesadarannya menuntut bahwa hanya dengan saling mencintai dan hormat satu sama lain, ia akan menjadi manusia bahagia dalam masyarakatnya. Pendidikan akhirnya harus membuat manusia bebas, tidak lagi mau diperalat oleh kekuatan yang telah lama memperdayainya. Karena pendidikan semacam itulah manusia bisa menjadi dirinya sendiri. Itulah larik-larik terakhir Sindhunata dalam tanda-tanda zaman-nya pada majalah dan edisi yang sama.***
-- dipresentasikan dalam diskusi Peran Pendidikan Bagi Keadilan Sosial di AMIKOM, Dinamika Edukasi Dasar (DED) Forum Mangunan, dan dimuat dalam buku terbitan DED --
SUMBANGAN SEKOLAH BAGI PENDIDIKAN
BERKEADILAN SOSIAL
BERKEADILAN SOSIAL
Ag. Prih Adiartanto
Guru SMA Kolese De Britto
Guru SMA Kolese De Britto
Pengantar
Tomoe-Gakuen, besi tua gerbong kereta itu adalah “sekolah kehidupan” bagi Totto Chan.
Di sana ia diajar menggunakan kebebasannya untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab,
menumbuhkan cinta untuk sesama. Itulah yang ditemukan
gadis kecil kelas 1 SD setelah ia dikeluarkan dari sekolah asal
karena kenakalannya
(Kuroyanagi, Totto Chan, Gadis Kecil di Jendela)
gadis kecil kelas 1 SD setelah ia dikeluarkan dari sekolah asal
karena kenakalannya
(Kuroyanagi, Totto Chan, Gadis Kecil di Jendela)
Alangkah indahnya jika sekolah menjadi tempat di mana anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiaannya. Di sana anak-anak belajar, berteman, bermain, menjadi dirinya, dan mengembangkan bakatnya. Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari ancaman-ancaman yang disengaja atau tidak datang dari masyarakatnya. Di sana anak-anak aman mempersiapkan masa depannya. Begitulah Sindhunata mengawali tulisan “tanda-tanda zaman”-nya dalam BASIS edisi Januari-Februari lima tahun yang lalu.
Benarkah sekolah-sekolah kita saat ini menjadi tempat yang indah sebagaimana diilustrasikan di atas? Sungguh memprihatinkan melihat anak-anak kita di ruang-ruang kelas saat ini. Anak-anak yang murung karena beban belajar dan kurikulum yang sedemikian padat. Anak-anak yang takut dengan hantu bernama Ujian Nasional (UN). Anak-anak yang kelelahan karena sepulang sekolah masih harus les ini-itu agar memperoleh angka yang baik. Sementara beberapa anak mati kaku gantung diri karena tidak bisa membayar iuran ba, bi, dan bu.
Betapa sekolah (baca: pendidikan) telah banyak menyeleweng dari tugasnya yang paling dasariah: membantu anak didik menjadi manusia yang bebas, merdeka, dan berbudaya. Sekolah mestinya menjadi dasar tumbuhnya kehidupan berdemokrasi yang adil. Jangan kita bermimpi akan keadilan dengan sendirinya terjadi, jika kita tidak mengupayakan suatu sistem persekolahan yang membebaskan anak didik menjadi dirinya dan dengan demikian juga menghargai orang lain untuk dapat menjadi dirinya sendiri.
Tulisan berikut ini dimaksudkan sebagai sarana berbagi sedikit pengalaman, bagaimana sekolah mengupayakan dan menghidupi pendidikan yang berkeadilan sosial. Pengalaman di sekolah lain barangkali berbeda dan justru memperkaya satu sama lain. Tentu saja semua uraian ini berangkat dari situasi faktual yang ada di lapangan. Untuk itu, berikut ini akan dipaparkan secara urut: potret persekolahan saat ini, beberapa pengalaman tentang upaya menghidupi semangat bereadilan sosial dalam proses pendidikan dan catatan kecil sebagai penutup dari sharing ini.
Non Scholae Sed Vitae Discimus
“Sekolah bukan melulu untuk sekolah itu sendiri, tetapi sekolah adalah belajar tentang hidup.” Begitulah kira-kira terjemahan bebas dari pepatah Latin di atas. Pepatah ini layak dimunculkan mengingat dalam iklim kapitalis sekarang ini, esensi sekolah sudah berubah menjadi “tukang jahit”. Sekolah diam-diam menjadi semacam pande besi (bengkel besi tempa). Para orang tua bisa datang kapan pun mereka suka membawa berbagai bahan logam, dengan segala kualitasnya, seperti lempengan bekas per mobil atau potongan rel kereta api untuk ditempa menjadi pisau, sabit, cangkul, kelewang, dan perkakas lainnya. Sekolah menjadi bengkel jasa tempat orang tua bisa ngadekke (memesan) perkakas yang mereka butuhkan. Asal ada bahan baku dan terjadi kesepakatan harga antara proses jual beli jasa itu selebihnya menjadi urusan bengkel. Para pemesan tahunya segalanya beres.
Pragmatisme yang merajalela di pelbagai sektor kehidupan menyebabkan orang lebih mendewakan hasil dari pada proses. Ijasah formal sangat dibanggakan. Nilai-nilai ujian adalah tujuan akhir yang harus mati-matian diperjuangkan. Lulus lebih cepat dari umumnya orang bersekolah menjadi prestise karena berhasil masuk kelas akselerasi.
Ada yang hilang dari proses pendidikan di sekolah, yakni: pendidikan nilai, pembentukan karakter. Sekolah hanya menjadi tempat mengasah otak dan kurang mengasah hati. Sekolah masih berorientasi pada kecerdasan kognitif (IQ) dan belum berorientasi ke kecerdasan majemuk, meski ketika terjun ke dunia kerja lebih dituntut integritas pribadi daripada kemampuan kognitif. Mengapa? Karena hasil akademis lebih bisa membawa prestise sekolah. Juara olimpiade sains dalam percaturan dunia lebih membanggakan negara daripada sekian puluh ribu siswa harus drop-out karena tidak bisa membayar sekolah. Ranking nomor wahid dari hasil UN, rata-rata nilai UN yang tinggi lebih membanggakan ketika di-koran”-kan.
Dalam pendaftaran sekolah pun calon siswa akan diranking dan dikelompokkan berdasar nilai UN. Calon siswa dengan nilai hebat akan terkumpul di sekolah negeri favorit. Agar nilai UN membanggakan, setiap sore lembaga-lembaga bimbingan belajar dengan ongkos yang tidak murah selalu penuh sesak. Mereka yang memiliki ekonomi lebih kuatlah yang bisa menikmati fasilitas di bimbingan-bimbingan belajar. Dengan asumsi mereka-mereka yang berkantong tebal pula yang umumnya memperoleh nilai bagus. Dan mereka-mereka pulalah yang berhak mengisi bangku-bangku sekolah negeri favorit yang nota bene disubsidi oleh pemerintah. Lalu, di manakah anak-anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan? Anak-anak yang tidak kebagian kue fasilitas sekolah negeri favorit? Umumnya mereka ada di sekolah-sekolah swasta pinggiran, yang masih harus membayar biaya ini-itu karena sekolah ini memang hanya bisa hidup karena uang bayaran siswa. Dan hingga saatnya ”tuhan” yang bernama UN kembali harus menggelar pengadilan terakhir.
Ironis. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan dan membudayakan anak berubah menjadi arena persaingan yang tidak sehat. Lebih aneh lagi, karena interpretasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang salah kaprah, sekolah-sekolah negeri favorit justru menarik sumbangan yang tahun ini sungguh mengejutkan jumlahnya. MBS sebagai konsekuensi bergulirnya otonomi daerah ibarat sekeping mata uang bermuka dua.. Di satu sisi menghasilkan liberalisasi pendidikan dan di sisi lain mendorong otonomi sekolah atau lebih tepat ”privatisasi”. Begitulah kenyataan ini mengalir dan berulang tanpa ada yang bisa dan berniat menghentikannya; sehingga tidak berlebihan kiranya jika Darmaningtyas menjuduli bukunya dengan ”Pendidikan Rusak-Rusakan”.
Beberapa Pengalaman
Seleksi masuk SMA Kolese de Britto tidak didasarkan pada nilai UN. Calon siswa menjalani seleksi dalam beberapa tahap. Pertama, wawancara untuk melihat kepribadian dan potensi anak untuk berkembang secara optimal. Pada tahap ini anak dikenali secara personal, karena pola pendampingan di sekolah anak akan didampingi sesuai kekhasan pribadinya (cura personalis). Kedua, siswa menjalani Tes Potensi Akademik (TPA). Tes ini bukan mengukur kemampuan akademis, tetapi lebih difokuskan pada potensinya dan kemungkinannya berkembang secara optimal. Pada gilirannya, ketika siswa sudah diterima, TPA ini akan dilengkapi dengan tes kepribadian (EPPS-misalnya) sehingga sekolah setidaknya punya data yang bisa membantu untuk mengenal karakter pribadi masing-masing anak dan inilah salah satu bekal untuk mendampingi anak secara personal. Ketiga, siswa menjalani tes kognitif yang mencakup bahasa, IPS terpadu, matematika, dan IPA terpadu. Dari proses seleksi ini tampak bahwa siswa lebih dilihat dari kepribadian dan potensi akademis dan bukan berapa nilai UN-nya. Dengan kata lain, sekolah memberi kesempatan yang sama (adil) kepada semua pendaftar untuk menjalani ketiga tahapan tersebut.
Ketika siswa dinyatakan diterima, orang tua siswa diundang hadir dalam pertemuan umum dengan staf yayasan dan direksi sekolah. Dalam pertemuan itu dipaparkan visi-misi sekolah, arah pendidikan dan pendampingan, dan pembiayaan sekolah berikut pemanfaatannya secara transparan. Sampai pada bagian ini, orang tua diberi kebebasan untuk meneruskan proses administrasi atau tidak. Pertemuan ini sekaligus dilaksanakan untuk membangun komitmen dengan orang tua bahwa orang tua perlu terlibat aktif dalam pendampingan siswa. Minimal setahun sekali, orang tua/wali wajib hadir ke sekolah untuk menjalin komunikasi dan mengoptimalkan pendampingan siswa.
Selesai pertemuan umum, orang tua diundang hadir dalam wawancara keuangan dengan tim dari yayasan. Proses wawancara tentu tidak lagi bertele-tele mengingat dasar dan prinsip pendidikan di De Britto sudah dipaparkan dalam pertemuan umum. Pun gambaran pembiayaan persekolahan. Prinsip yang dikedepankan dalam wawancara ini adalah orang tua yang memiliki kemampuan keuangan lebih akan memberikan sumbangan secara lebih, sementara orang tua dengan ekonomi kurang akan tersubsidi oleh mereka yang berlebih. Inilah esensi subsidi silang. Yang kuat membantu yang lemah secara konkrit. Maka sumbangan pendidikan maupun SPP antar siswa pun pasti tidak sama.
Tentulah proses semacam ini membutuhkan waktu, perhatian, tenaga, dan biaya lebih. Tetapi ditilik dari proses dialog, membangun kesepahaman, sekaligus kualitas saringan akan menjanjikan sesuatu yang baik. Untuk itulah proses seleksi dilaksanakan jauh hari bahkan sebelum calon siswa lulus SMP. Ketika orang tua mendapat perlakuan secara adil, dan dalam proses pendampingan di sekolah pun diberi kesempatan untuk terlibat, maka kerjasama secara terbuka dan proporsional akan terwujud.
Pun ketika siswa mendapat perlakuan yang adil dibarengi dialog yang terbuka, ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran akibat ketidaktertiban, nilai-nilai keadilan akan ”membadan” dalam diri siswa. Seorang siswa yang terlambat beberapa kali meski hanya lima menit karena selalu bangun kesiangan barangkali harus diberi sanksi atas ketidakmauanberubahnya dibandingkan dengan seorang siswa yang terlambat lebih dari satu jam pelajaran karena harus mengantar ibunya berobat ke rumah sakit. Dialog, saling mendengarkan, dan memahami konteks siswa kiranya lebih perlu dikedepankan daripada sekedar memberi sanksi atas ketidaktertiban. Dialog yang efektif tentulah dialog yang dilandasi rasa percaya. Anak akan merasa dihargai dan pada akhirnya memiliki rasa percaya diri ketika ia dipercaya.
Kesempatan berdialog dengan anak pun difasilitasi sekolah dengan menjadwal jam perwalian seminggu sekali. Suasana jam perwalian bukan suasana belajar-mengajar. Wali kelas hadir di kelas perwaliannya setiap Kamis pada pelajaran jam ke-6. Anak bisa berdialog, berdiskusi, dan berefleksi atas situasi kegiatan belajar mengajar atau kondisi kelas selama seminggu yang lalu. Evaluasi atas metode dan pola komunikasi guru mata pelajaran, perilaku teman di kelas, sampai persoalan-persoalan pribadi siswa sejauh boleh diketahui seluruh anggota kelas bisa diungkapkan pada jam perwalian.
Kepedulian, perhatian kepada teman dan orang lain akan selalu terasah dan membadan dalam diri siswa. Studi ekskursi dalam bentuk pengamatan sektor-sektor formal dan non-formal di sekitar sekolah, live-in, aksi sosial kiranya juga menjadi alat pengasah kepekaan dan analisis sosial siswa. Bantingan (sumbangan uang secara sukarela) untuk teman yang memerlukan—tanpa harus diarahkan guru—sudah berjalan secara spontan.
Suatu pengalaman mengharukan, ketika ibu seorang siswa sakit parah sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun tidak cukup, si anak dianjurkan oleh teman-temannya untuk membawa nasi bungkus setiap hari. Dan setiap hari pula teman-teman lain selalu membeli dan mereka bisa makan bersama sembari meringankan beban keuangan temannya. Si anak tidak malu karena menggantungkan diri pada bantuan temannya, sementara teman lain bisa membantu tanpa harus menimbulkan ketergantungan pada si anak. Ketika seorang siswa tidak bisa mengambil ijasah karena SPP menunggak tiga bulan, secara spontan teman-teman sekelas membuat pengumuman, mengedarkan sumbangan, dan uang yang terkumpul lebih dari cukup untuk menutup tunggakan SPP dan siswa bisa mengambil ijasah.
Memberi kebebasan anak untuk menentukan pilihan secara bertanggung jawab adalah model pendampingan yang tampaknya tepat bagi remaja laki-laki sekarang ini. Pilihan untuk tidak memakai seragam, pilihan untuk memakai sepatu sandal, pilihan untuk memanjangkan rambut tentulah didasari oleh semangat ini. Di sisi lain, teladan, inilah kunci dari munculnya sikap saling berbagi sebagaimana di paparkan di atas. Nasihat Dorothy Law Nolte dalam bait-bait puisinya tentang perlakuan dan kondisi anak tumbuh kiranya bukan sekedar tumpukan kata-kata indah. Bila anak tumbuh dalam penerimaan, ia akan belajar mencintai. Bila anak mendapat haknya, ia akan bertindak adil, dan seterusnya.
Penutup
Memahami sharing di atas tuntulah segera tergambar betapa repotnya ketika (jika boleh disebut) mengupayakan pendidikan yang adil bagi anak-anak kita. Benar, subsidi silang tidak perlu disarankan digembar-gemborkan tanpa hasil yang konkrit, tetapi perlu dilakukan dengan menyediakan waktu dan kesempatan yang berlebih. Berdialog dengan anak untuk meluruskan proses berpikir tentu pula butuh energi ekstra dan akan lebih mudah jika itu diubah menjadi komando atau perintah. Tetapi kita hal-hal di atas sudah menjadi kebiasaan, sudah membadan, dan dipahami seluruh anggota komunitas sekolah, tentulah secara spontan hal itu akan teraktualisasikan.
Persoalannya sering berkutat pada bagaimana membangun paradigma yang sama dengan institusi lain (diknas-misalnya) sehingga tidak memandang konteks pendidikan di De Britto hanya dari bajunya yang tidak seragam dan rambutnya yang gondrong.
Benarkah sekolah-sekolah kita saat ini menjadi tempat yang indah sebagaimana diilustrasikan di atas? Sungguh memprihatinkan melihat anak-anak kita di ruang-ruang kelas saat ini. Anak-anak yang murung karena beban belajar dan kurikulum yang sedemikian padat. Anak-anak yang takut dengan hantu bernama Ujian Nasional (UN). Anak-anak yang kelelahan karena sepulang sekolah masih harus les ini-itu agar memperoleh angka yang baik. Sementara beberapa anak mati kaku gantung diri karena tidak bisa membayar iuran ba, bi, dan bu.
Betapa sekolah (baca: pendidikan) telah banyak menyeleweng dari tugasnya yang paling dasariah: membantu anak didik menjadi manusia yang bebas, merdeka, dan berbudaya. Sekolah mestinya menjadi dasar tumbuhnya kehidupan berdemokrasi yang adil. Jangan kita bermimpi akan keadilan dengan sendirinya terjadi, jika kita tidak mengupayakan suatu sistem persekolahan yang membebaskan anak didik menjadi dirinya dan dengan demikian juga menghargai orang lain untuk dapat menjadi dirinya sendiri.
Tulisan berikut ini dimaksudkan sebagai sarana berbagi sedikit pengalaman, bagaimana sekolah mengupayakan dan menghidupi pendidikan yang berkeadilan sosial. Pengalaman di sekolah lain barangkali berbeda dan justru memperkaya satu sama lain. Tentu saja semua uraian ini berangkat dari situasi faktual yang ada di lapangan. Untuk itu, berikut ini akan dipaparkan secara urut: potret persekolahan saat ini, beberapa pengalaman tentang upaya menghidupi semangat bereadilan sosial dalam proses pendidikan dan catatan kecil sebagai penutup dari sharing ini.
Non Scholae Sed Vitae Discimus
“Sekolah bukan melulu untuk sekolah itu sendiri, tetapi sekolah adalah belajar tentang hidup.” Begitulah kira-kira terjemahan bebas dari pepatah Latin di atas. Pepatah ini layak dimunculkan mengingat dalam iklim kapitalis sekarang ini, esensi sekolah sudah berubah menjadi “tukang jahit”. Sekolah diam-diam menjadi semacam pande besi (bengkel besi tempa). Para orang tua bisa datang kapan pun mereka suka membawa berbagai bahan logam, dengan segala kualitasnya, seperti lempengan bekas per mobil atau potongan rel kereta api untuk ditempa menjadi pisau, sabit, cangkul, kelewang, dan perkakas lainnya. Sekolah menjadi bengkel jasa tempat orang tua bisa ngadekke (memesan) perkakas yang mereka butuhkan. Asal ada bahan baku dan terjadi kesepakatan harga antara proses jual beli jasa itu selebihnya menjadi urusan bengkel. Para pemesan tahunya segalanya beres.
Pragmatisme yang merajalela di pelbagai sektor kehidupan menyebabkan orang lebih mendewakan hasil dari pada proses. Ijasah formal sangat dibanggakan. Nilai-nilai ujian adalah tujuan akhir yang harus mati-matian diperjuangkan. Lulus lebih cepat dari umumnya orang bersekolah menjadi prestise karena berhasil masuk kelas akselerasi.
Ada yang hilang dari proses pendidikan di sekolah, yakni: pendidikan nilai, pembentukan karakter. Sekolah hanya menjadi tempat mengasah otak dan kurang mengasah hati. Sekolah masih berorientasi pada kecerdasan kognitif (IQ) dan belum berorientasi ke kecerdasan majemuk, meski ketika terjun ke dunia kerja lebih dituntut integritas pribadi daripada kemampuan kognitif. Mengapa? Karena hasil akademis lebih bisa membawa prestise sekolah. Juara olimpiade sains dalam percaturan dunia lebih membanggakan negara daripada sekian puluh ribu siswa harus drop-out karena tidak bisa membayar sekolah. Ranking nomor wahid dari hasil UN, rata-rata nilai UN yang tinggi lebih membanggakan ketika di-koran”-kan.
Dalam pendaftaran sekolah pun calon siswa akan diranking dan dikelompokkan berdasar nilai UN. Calon siswa dengan nilai hebat akan terkumpul di sekolah negeri favorit. Agar nilai UN membanggakan, setiap sore lembaga-lembaga bimbingan belajar dengan ongkos yang tidak murah selalu penuh sesak. Mereka yang memiliki ekonomi lebih kuatlah yang bisa menikmati fasilitas di bimbingan-bimbingan belajar. Dengan asumsi mereka-mereka yang berkantong tebal pula yang umumnya memperoleh nilai bagus. Dan mereka-mereka pulalah yang berhak mengisi bangku-bangku sekolah negeri favorit yang nota bene disubsidi oleh pemerintah. Lalu, di manakah anak-anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan? Anak-anak yang tidak kebagian kue fasilitas sekolah negeri favorit? Umumnya mereka ada di sekolah-sekolah swasta pinggiran, yang masih harus membayar biaya ini-itu karena sekolah ini memang hanya bisa hidup karena uang bayaran siswa. Dan hingga saatnya ”tuhan” yang bernama UN kembali harus menggelar pengadilan terakhir.
Ironis. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan dan membudayakan anak berubah menjadi arena persaingan yang tidak sehat. Lebih aneh lagi, karena interpretasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang salah kaprah, sekolah-sekolah negeri favorit justru menarik sumbangan yang tahun ini sungguh mengejutkan jumlahnya. MBS sebagai konsekuensi bergulirnya otonomi daerah ibarat sekeping mata uang bermuka dua.. Di satu sisi menghasilkan liberalisasi pendidikan dan di sisi lain mendorong otonomi sekolah atau lebih tepat ”privatisasi”. Begitulah kenyataan ini mengalir dan berulang tanpa ada yang bisa dan berniat menghentikannya; sehingga tidak berlebihan kiranya jika Darmaningtyas menjuduli bukunya dengan ”Pendidikan Rusak-Rusakan”.
Beberapa Pengalaman
Seleksi masuk SMA Kolese de Britto tidak didasarkan pada nilai UN. Calon siswa menjalani seleksi dalam beberapa tahap. Pertama, wawancara untuk melihat kepribadian dan potensi anak untuk berkembang secara optimal. Pada tahap ini anak dikenali secara personal, karena pola pendampingan di sekolah anak akan didampingi sesuai kekhasan pribadinya (cura personalis). Kedua, siswa menjalani Tes Potensi Akademik (TPA). Tes ini bukan mengukur kemampuan akademis, tetapi lebih difokuskan pada potensinya dan kemungkinannya berkembang secara optimal. Pada gilirannya, ketika siswa sudah diterima, TPA ini akan dilengkapi dengan tes kepribadian (EPPS-misalnya) sehingga sekolah setidaknya punya data yang bisa membantu untuk mengenal karakter pribadi masing-masing anak dan inilah salah satu bekal untuk mendampingi anak secara personal. Ketiga, siswa menjalani tes kognitif yang mencakup bahasa, IPS terpadu, matematika, dan IPA terpadu. Dari proses seleksi ini tampak bahwa siswa lebih dilihat dari kepribadian dan potensi akademis dan bukan berapa nilai UN-nya. Dengan kata lain, sekolah memberi kesempatan yang sama (adil) kepada semua pendaftar untuk menjalani ketiga tahapan tersebut.
Ketika siswa dinyatakan diterima, orang tua siswa diundang hadir dalam pertemuan umum dengan staf yayasan dan direksi sekolah. Dalam pertemuan itu dipaparkan visi-misi sekolah, arah pendidikan dan pendampingan, dan pembiayaan sekolah berikut pemanfaatannya secara transparan. Sampai pada bagian ini, orang tua diberi kebebasan untuk meneruskan proses administrasi atau tidak. Pertemuan ini sekaligus dilaksanakan untuk membangun komitmen dengan orang tua bahwa orang tua perlu terlibat aktif dalam pendampingan siswa. Minimal setahun sekali, orang tua/wali wajib hadir ke sekolah untuk menjalin komunikasi dan mengoptimalkan pendampingan siswa.
Selesai pertemuan umum, orang tua diundang hadir dalam wawancara keuangan dengan tim dari yayasan. Proses wawancara tentu tidak lagi bertele-tele mengingat dasar dan prinsip pendidikan di De Britto sudah dipaparkan dalam pertemuan umum. Pun gambaran pembiayaan persekolahan. Prinsip yang dikedepankan dalam wawancara ini adalah orang tua yang memiliki kemampuan keuangan lebih akan memberikan sumbangan secara lebih, sementara orang tua dengan ekonomi kurang akan tersubsidi oleh mereka yang berlebih. Inilah esensi subsidi silang. Yang kuat membantu yang lemah secara konkrit. Maka sumbangan pendidikan maupun SPP antar siswa pun pasti tidak sama.
Tentulah proses semacam ini membutuhkan waktu, perhatian, tenaga, dan biaya lebih. Tetapi ditilik dari proses dialog, membangun kesepahaman, sekaligus kualitas saringan akan menjanjikan sesuatu yang baik. Untuk itulah proses seleksi dilaksanakan jauh hari bahkan sebelum calon siswa lulus SMP. Ketika orang tua mendapat perlakuan secara adil, dan dalam proses pendampingan di sekolah pun diberi kesempatan untuk terlibat, maka kerjasama secara terbuka dan proporsional akan terwujud.
Pun ketika siswa mendapat perlakuan yang adil dibarengi dialog yang terbuka, ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran akibat ketidaktertiban, nilai-nilai keadilan akan ”membadan” dalam diri siswa. Seorang siswa yang terlambat beberapa kali meski hanya lima menit karena selalu bangun kesiangan barangkali harus diberi sanksi atas ketidakmauanberubahnya dibandingkan dengan seorang siswa yang terlambat lebih dari satu jam pelajaran karena harus mengantar ibunya berobat ke rumah sakit. Dialog, saling mendengarkan, dan memahami konteks siswa kiranya lebih perlu dikedepankan daripada sekedar memberi sanksi atas ketidaktertiban. Dialog yang efektif tentulah dialog yang dilandasi rasa percaya. Anak akan merasa dihargai dan pada akhirnya memiliki rasa percaya diri ketika ia dipercaya.
Kesempatan berdialog dengan anak pun difasilitasi sekolah dengan menjadwal jam perwalian seminggu sekali. Suasana jam perwalian bukan suasana belajar-mengajar. Wali kelas hadir di kelas perwaliannya setiap Kamis pada pelajaran jam ke-6. Anak bisa berdialog, berdiskusi, dan berefleksi atas situasi kegiatan belajar mengajar atau kondisi kelas selama seminggu yang lalu. Evaluasi atas metode dan pola komunikasi guru mata pelajaran, perilaku teman di kelas, sampai persoalan-persoalan pribadi siswa sejauh boleh diketahui seluruh anggota kelas bisa diungkapkan pada jam perwalian.
Kepedulian, perhatian kepada teman dan orang lain akan selalu terasah dan membadan dalam diri siswa. Studi ekskursi dalam bentuk pengamatan sektor-sektor formal dan non-formal di sekitar sekolah, live-in, aksi sosial kiranya juga menjadi alat pengasah kepekaan dan analisis sosial siswa. Bantingan (sumbangan uang secara sukarela) untuk teman yang memerlukan—tanpa harus diarahkan guru—sudah berjalan secara spontan.
Suatu pengalaman mengharukan, ketika ibu seorang siswa sakit parah sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun tidak cukup, si anak dianjurkan oleh teman-temannya untuk membawa nasi bungkus setiap hari. Dan setiap hari pula teman-teman lain selalu membeli dan mereka bisa makan bersama sembari meringankan beban keuangan temannya. Si anak tidak malu karena menggantungkan diri pada bantuan temannya, sementara teman lain bisa membantu tanpa harus menimbulkan ketergantungan pada si anak. Ketika seorang siswa tidak bisa mengambil ijasah karena SPP menunggak tiga bulan, secara spontan teman-teman sekelas membuat pengumuman, mengedarkan sumbangan, dan uang yang terkumpul lebih dari cukup untuk menutup tunggakan SPP dan siswa bisa mengambil ijasah.
Memberi kebebasan anak untuk menentukan pilihan secara bertanggung jawab adalah model pendampingan yang tampaknya tepat bagi remaja laki-laki sekarang ini. Pilihan untuk tidak memakai seragam, pilihan untuk memakai sepatu sandal, pilihan untuk memanjangkan rambut tentulah didasari oleh semangat ini. Di sisi lain, teladan, inilah kunci dari munculnya sikap saling berbagi sebagaimana di paparkan di atas. Nasihat Dorothy Law Nolte dalam bait-bait puisinya tentang perlakuan dan kondisi anak tumbuh kiranya bukan sekedar tumpukan kata-kata indah. Bila anak tumbuh dalam penerimaan, ia akan belajar mencintai. Bila anak mendapat haknya, ia akan bertindak adil, dan seterusnya.
Penutup
Memahami sharing di atas tuntulah segera tergambar betapa repotnya ketika (jika boleh disebut) mengupayakan pendidikan yang adil bagi anak-anak kita. Benar, subsidi silang tidak perlu disarankan digembar-gemborkan tanpa hasil yang konkrit, tetapi perlu dilakukan dengan menyediakan waktu dan kesempatan yang berlebih. Berdialog dengan anak untuk meluruskan proses berpikir tentu pula butuh energi ekstra dan akan lebih mudah jika itu diubah menjadi komando atau perintah. Tetapi kita hal-hal di atas sudah menjadi kebiasaan, sudah membadan, dan dipahami seluruh anggota komunitas sekolah, tentulah secara spontan hal itu akan teraktualisasikan.
Persoalannya sering berkutat pada bagaimana membangun paradigma yang sama dengan institusi lain (diknas-misalnya) sehingga tidak memandang konteks pendidikan di De Britto hanya dari bajunya yang tidak seragam dan rambutnya yang gondrong.
Pendidikan perlu membuat manusia terkejut, mengapa ia begitu tertutup, padahal kesadarannya menuntut, hanya bila mau terbuka maka ia akan bahagia. Pendidikan juga perlu membuat manusia kaget, mengapa ia begitu takut, padahal kesadarannya menuntut agar ia berani untuk memperjuangkan hidupnya. Pendidikan juga harus membuat ia benci terhadap dirinya sendiri, mengapa ia membenci dan menindas orang lain, padahal kesadarannya menuntut bahwa hanya dengan saling mencintai dan hormat satu sama lain, ia akan menjadi manusia bahagia dalam masyarakatnya. Pendidikan akhirnya harus membuat manusia bebas, tidak lagi mau diperalat oleh kekuatan yang telah lama memperdayainya. Karena pendidikan semacam itulah manusia bisa menjadi dirinya sendiri. Itulah larik-larik terakhir Sindhunata dalam tanda-tanda zaman-nya pada majalah dan edisi yang sama.***
-- dipresentasikan dalam diskusi Peran Pendidikan Bagi Keadilan Sosial di AMIKOM, Dinamika Edukasi Dasar (DED) Forum Mangunan, dan dimuat dalam buku terbitan DED --
Referansi
Adiartanto, AG. Prih dan J. Sumardianta, 2006. ”Menatah Kebajikan Khas Siswa”, dalam BASIS, No. 07-08 Tahun ke-55 Juli-Agustus.
Direktorat Dikmenum, 2000. Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Darmaningtyas, 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: LKIS
Nolte, Dorothy Law. ”Dalam Kondisi Bagaimana Anak Anda Tumbuh?”
Provinsi Indonesia Serikat Yesus, 1987. Ciri-Ciri Khas Pendidikan Pada Lembaga Yesuit. Yogyakarta: Kanisius
Sindhunata, 2001 ”Tanda-Tanda Zaman: Awas Pedagogi Hitam” dalam BASIS, No. 01-02 Tahun ke-50 Januari-Februari.
Adiartanto, AG. Prih dan J. Sumardianta, 2006. ”Menatah Kebajikan Khas Siswa”, dalam BASIS, No. 07-08 Tahun ke-55 Juli-Agustus.
Direktorat Dikmenum, 2000. Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Darmaningtyas, 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: LKIS
Nolte, Dorothy Law. ”Dalam Kondisi Bagaimana Anak Anda Tumbuh?”
Provinsi Indonesia Serikat Yesus, 1987. Ciri-Ciri Khas Pendidikan Pada Lembaga Yesuit. Yogyakarta: Kanisius
Sindhunata, 2001 ”Tanda-Tanda Zaman: Awas Pedagogi Hitam” dalam BASIS, No. 01-02 Tahun ke-50 Januari-Februari.
0 komentar:
Posting Komentar