Teater Sekolah
TEATER SEKOLAH: RUANG EKSPRESI DAN PENGALAMAN
"Aku tidak mengerti mengapa Ibu Guru tidak mengerti aku,
tetapi aku juga tidak mengerti mengapa aku tidak pernah mengerti"
Begitulah kira-kira sesobek catatan kecil yang sempat ditulis seorang siswa kelas 4 SD sebelum bunuh diri yang pernah dimuat di Harian Kompas tiga belas tahun lalu. Catatan seorang anak ‘kecil’ yang sesungguhnya ‘dewasa’. Lebih daripada itu, tampak bahwa kesempatan berdialog, berkomunikasi, berbagi, dan mengekspresikan diri sungguh menjadi penting dalam dunia pendidikan (baca: persekolahan) dengan kurikulum yang demikian berat dan tak bersahabat.
Memberi ruang kepada siswa untuk berkreasi dan mengekspresikan diri adalah salah satu hal yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Teater sekolah yang terbingkai dalam kegiatan ekstrakurikuler adalah salah satu dari ruang itu. Dengan kata lain, teater sekolah mestilah tetap berada pada frame pendidikan.
Perlu strategi tersendiri dalam menemani rekan-rekan pelajar SMU belajar berteater. Betapa tidak? Dasar-dasar teater yang digeluti di kelas satu, dan umumnya telah cukup mantap di kelas dua, harus kembali berulang ketika siswa kelas satu masuk sebagai anggota baru. Pun begitu siswa kelas dua naik ke kelas tiga, mereka sudah tak lagi wajib mengikuti kegiatan ektrakurikuler –termasuk teater. Begitulah dinamika yang terjadi setiap tahun.
Sebagai kegiatan ekstrakurikuler, kita pun harus berkompromi dengan aktivitas belajar siswa yang lain seperti praktikum, les, bimbingan belajar, tugas-tugas kokurikuler, dan aktivitas belajar intrakurikuler sebagai kegiatan pokok siswa.
Keputusan untuk memproduksi pementasan pun sejak awal sudah terbayang keringat dan air mata yang harus menetes. Bagaimanapun juga teater sekolah berbeda dengan kelompok/sanggar teater di luar tembok sekolah. Pada posisi ini, teater sekolah sering kali hanya dipandang sebelah mata. Juga untuk urusan pengajuan proposal dalam rangka menutup ongkos produksi: tak jarang kami sekedar mendapat ucapan terima kasih –tidak lebih; bahkan pernah terjadi pula kami menerima sumbangan (bukan sponsor) yang jauh dibawah biaya fotokopi dan jilid proposal (meski kami harus tinggalkan proposal itu). Mengandalkan dana sekolah tentu tidak akan mencukupi.
Memberi pemahaman bahwa teater adalah seni kolektif bukan tanpa kendala. Anggapan yang muncul: kalau seorang siswa tidak ter-casting, maka ia merasa tidak ikut berpentas. Sungguh tidak gampang membangun pemahaman bahwa masuk dalam tim produksi sama derajat dan tanggung jawabnya dengan pemain. Tidak mudah pula menumbuhkan kesadaran bahwa musik, tari menjadi satu kesatuan yang utuh-padu bagi pementasan. Belum lagi memotivasi agar siswa berani mengeksplorasi gerak, karakter –agar tidak semata-mata sekedar dicekoki dan diperintah ala robot.
Syukurlah, dalam dinamika refleksi – evaluasi – aksi, keringat dan air mata masih mengguratkan senyum. Meski untuk itu kami harus mohon bantuan pada rekan-rekan di luar komunitas Teater de Britto dan Teater Bende Stece 1. Untuk itu, pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerelaan teman-teman pada pementasan kali ini (maaf, karena terlalu banyak saya tidak bisa menyebut Anda satu per satu dalam tulisan ini.)
Ketika layar panggung telah dibuka, yang tampak jelas di depan mata adalah hasil akhir dari sebuah proses panjang berliku. Mudah-mudahan proses yang telah kami jalani bukan menjadi excuse atas camping yang mungkin terbaca di banyak sisi, tetapi justru lewat proses inilah kami bersyukur telah menemukan banyak mutiara yang tidak kami dapati di ruang-ruang kelas.
Untuk menyudahi sharing ini saya ingin menunjuk satu kata kunci: PENGALAMAN. Hasil dari kesempatan mengalami itulah yang membuat kami masih boleh berjalan dengan kepala tegak. Apapun hasilnya, toh kami telah memberanikan diri mengundang Anda untuk mengapresiasi.
Selamat berapresiasi!
suatu siang di ruang komputer kantor guru
Goes P. Adiartanto
Goes P. Adiartanto
0 komentar:
Posting Komentar