Keterlibatan Ortu Dalam Pendidikan
Bersama Menatah Kebajikan Khas Siswa
Ag. Prih Adiartanto & J. Sumardiyanta
“Keterlibatan orang tua di sekolah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi peserta didik.” Itulah kesimpulan Larry E dan Virginia A. Decker (2003), dalam bukunya Home, School, and Community Partnership. Berdasarkan lebih dari 85 riset ternyata keterlibatan keluarga memberikan keuntungan terhadap keberhasilan peserta didik, kualitas sekolah, dan desain program (kurikulum).
Ada tiga pilar yang berkaitan dengan pendidikan, yakni: orang tua (keluarga), sekolah, dan masyarakat. Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama. Faktanya, sebagian besar waktu hidup anak (lebih-lebih pada masa perkembangan) ada di dalam keluarga dan orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab.
Seiring perkembangan jaman, peran itu semakin bergeser. Sekolah mengambil alih peran dan fungsi sentral orang tua dalam pendidikan anak. Tugas orang tua direduksi melulu sebagai sumber ketersediaan dana bagi kelangsungan pendidikan. Pragmatisme yang merajalela di pelbagai sektor kehidupan menyebabkan segala urusan pedagogi dibebankan kepada sekolah. Lembaga pendidikan formal, dari level dasar hingga menengah, yang mestinya hanya mengurusi masalah pengajaran dalam arti pengalihan pengetahuan dan keterampilan dari guru kepada siswa dibebani pula dengan persoalan edukasi dalam pengertian etis dan moral. Padahal urusan edukasi mestinya lebih menjadi porsi orang tua di rumah.
Sekolah diam-diam menjadi semacam pande besi (bengkel besi tempa). Para orang tua bisa datang kapan pun mereka suka membawa berbagai bahan logam, dengan segala kualitasnya, seperti lempengan bekas per mobil atau potongan rel kereta api untuk ditempa menjadi pisau, sabit, cangkul, kelewang, dan perkakas lainnya. Sekolah menjadi bengkel jasa tempat orang tua bisa ngadekke (memesan) perkakas yang mereka butuhkan. Asal ada bahan baku dan terjadi kesepakatan harga antara proses jual beli jasa itu selebihnya menjadi urusan bengkel. Para pemesan tahunya segalanya beres. Mereka pulang bisa membawa pisau, sabit, cangkul, atau kelewang. Persoalannya sekolah bukanlah bengkel besi tempa. Sekolah memang harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen ekonomi moderen seturut hukum pasar. Hukum besi efesiensi ekonomi universal yang tidak bisa ditawar.
Institusi masyarakat yang makin terkotak-kotak dalam sangkar spesialisasi dan diferensiasi rupanya memberi sumbangan besar bagi terjadinya kudeta atau pengambilalihan peran sentral pendidikan dari orang tua ke sekolah. Pendidikan dikotak-kotak ke dalam sangkar formal, informal, dan non-formal. Pendidikan formal yang berlangsung di sekolah dicirikan adanya kurikulum, pembatasan usia wajib belajar, dan pemberian sertifikat tanda kelulusan. Pendidikan non-formal lebih berorientasi ke dunia praktis dunia kerja. Pendidikan ini dijalankan oleh lembaga-lembaga kursus keterampilan. Pendidikan informal dindentikkan dengan keluarga. Pendidikan di sini berlangsung seumur hidup (long life education).
Ag. Prih Adiartanto & J. Sumardiyanta
“Keterlibatan orang tua di sekolah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi peserta didik.” Itulah kesimpulan Larry E dan Virginia A. Decker (2003), dalam bukunya Home, School, and Community Partnership. Berdasarkan lebih dari 85 riset ternyata keterlibatan keluarga memberikan keuntungan terhadap keberhasilan peserta didik, kualitas sekolah, dan desain program (kurikulum).
Ada tiga pilar yang berkaitan dengan pendidikan, yakni: orang tua (keluarga), sekolah, dan masyarakat. Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama. Faktanya, sebagian besar waktu hidup anak (lebih-lebih pada masa perkembangan) ada di dalam keluarga dan orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab.
Seiring perkembangan jaman, peran itu semakin bergeser. Sekolah mengambil alih peran dan fungsi sentral orang tua dalam pendidikan anak. Tugas orang tua direduksi melulu sebagai sumber ketersediaan dana bagi kelangsungan pendidikan. Pragmatisme yang merajalela di pelbagai sektor kehidupan menyebabkan segala urusan pedagogi dibebankan kepada sekolah. Lembaga pendidikan formal, dari level dasar hingga menengah, yang mestinya hanya mengurusi masalah pengajaran dalam arti pengalihan pengetahuan dan keterampilan dari guru kepada siswa dibebani pula dengan persoalan edukasi dalam pengertian etis dan moral. Padahal urusan edukasi mestinya lebih menjadi porsi orang tua di rumah.
Sekolah diam-diam menjadi semacam pande besi (bengkel besi tempa). Para orang tua bisa datang kapan pun mereka suka membawa berbagai bahan logam, dengan segala kualitasnya, seperti lempengan bekas per mobil atau potongan rel kereta api untuk ditempa menjadi pisau, sabit, cangkul, kelewang, dan perkakas lainnya. Sekolah menjadi bengkel jasa tempat orang tua bisa ngadekke (memesan) perkakas yang mereka butuhkan. Asal ada bahan baku dan terjadi kesepakatan harga antara proses jual beli jasa itu selebihnya menjadi urusan bengkel. Para pemesan tahunya segalanya beres. Mereka pulang bisa membawa pisau, sabit, cangkul, atau kelewang. Persoalannya sekolah bukanlah bengkel besi tempa. Sekolah memang harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen ekonomi moderen seturut hukum pasar. Hukum besi efesiensi ekonomi universal yang tidak bisa ditawar.
Institusi masyarakat yang makin terkotak-kotak dalam sangkar spesialisasi dan diferensiasi rupanya memberi sumbangan besar bagi terjadinya kudeta atau pengambilalihan peran sentral pendidikan dari orang tua ke sekolah. Pendidikan dikotak-kotak ke dalam sangkar formal, informal, dan non-formal. Pendidikan formal yang berlangsung di sekolah dicirikan adanya kurikulum, pembatasan usia wajib belajar, dan pemberian sertifikat tanda kelulusan. Pendidikan non-formal lebih berorientasi ke dunia praktis dunia kerja. Pendidikan ini dijalankan oleh lembaga-lembaga kursus keterampilan. Pendidikan informal dindentikkan dengan keluarga. Pendidikan di sini berlangsung seumur hidup (long life education).
Spesialisasi dan diversifikasi itulah sesungguhnya yang menjerumuskan pendidikan melulu ke dalam urusan pengajaran bukan pendampingan dan pengasuhan. Inilah awal dari proses kelirumologi pendidikan di Indonesia. Pendidikan lalu identik dengan bangku persekolahan. Sekolah terbenam dalam kegiatan belajar mengajar. Lembaga pendidikan formal lalu menjadi tampak lapuk, usang, dan ketinggalan jaman karena masyarakat terlanjur memiliki ekpektasi bahwa tugas sekolah bukan sekedar mengajar melainkan juga mendidik.
Asas-asas pendidikan formal yang diterapkan di sekolah---seperti kemandirian, universalisme, prestasi, dan spesifisitas---berseberangan dengan asas-asas pendidikan informal yang berlangsung di rumah. Di sekolah para siswa dididik menjadi manusia mandiri. Kerja sama dalam mengerjakan tugas dibenarkan sejauh tidak mengandung unsur penipuan dan kecurangan. Itu sebabnya sekolah menerapkan larangan mencontek dan menjiplak. Kebalikannya pendidikan di rumah diam-diam membuat anak kurang mandiri. Makanan disiapkan orang tua. Mencuci pakaian dikerjakan pembantu rumah tangga. Kesulitan dalam belajar bisa dipecahkan dengan mengundang guru les privat.
Di sekolah semua siswa diperlakukan secara universal tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang status sosial, latar belakang agama, dan latar belakang etnis. Tak heran bila sekolah menerapkan kebijakan pemakaian seragam guna meminimalkan segragasi ekonomi dan kesenjangan sosial. Di rumah anak-anak diperlakukan secara partikular, khusus, dan istimewa oleh orang tua mereka. Partikularisme ini, harus diakui, berpengaruh juga terhadap pendekatan guru terhadap para siswanya. Partikularisme itu justru yang menonjol dalam praktik pengajaran di sekolah. Perilaku guru di jaman sekarang cenderung emban cinde emban siladan (diskriminatif). Siswa-siswi bagus alus merak ati (tampan dan cantik) yang biasanya pintar dan berasal dari keluarga terpandang mendapat perlakuan khusus dan perhatian ekstra dari para guru. Siswa-siswi yang lusuh, kumal, dan berasal dari keluarga miskin cenderung disepelekan guru mereka.
Sekolah sangat menekankan prestasi akademik peserta didik. Prestasi akademik terlanjur dianggap menentukan berhasil tidaknya seseorang kelak bila terjun di tengah masyarakat sebagai kaum profesional. Di sekolah para siswa diajari kerja keras dan menghindari kegagalan. Tanpa disadari pola pengasuhan orang tua di rumah membuat anak-anak kurang menghargai achievement. Anak-anak di jaman sekarang nyaris bergelimang fasilitas dan kemudahan. Gaya hidup mereka cenderung hedonis dan konsumeristik. Itu semua mereka dapatkan nyaris tanpa mengeluarkan keringat berkat status sosial orang tua.
Sekolah juga memberlakukan asas spesifisitas (kekhususan). Konkretnya, nilai bidang studi biologi yang didapat seorang siswa tidak akan mempengaruhi perolehan nilai matematika siswa tersebut. Spesifisitas dalam penilaian berlaku untuk semua bidang studi sebagai konsekuensi lanjut dari asas kemandirian dan prestasi. Apa yang terjadi di rumah bila seorang anak naga-naganya akan gagal naik kelas karena nilainya jelek untuk bidang-bidang studi tertentu? Ada kecenderungan praktik jual beli nilai yang bertentangan dengan asas kekhususan sebagaimana dipaparkan guru-guru yang bekerja di kota-kota besar.
Modusnya, orang tua mendatangi wali kelas di sekolah atau di rumah dengan iming-iming imbalan uang atau materi bila berhasil memoles nilai anak mereka. Wali kelas, menjelang rapat kenaikan kelas, akan bergerilya dengan melakukan lobi terhadap guru-guru---terlebih guru-guru baru yang posisinya belum aman dan gampang ditekan. Proses jual-beli nilai bisa berlangsung karena pimpinan sekolah menerapkan kebijakan satu mata terbuka dan satu mata tertutup atas praktik manipulasi dan kecurangan yang jelas-jelas bertentangan dengan asas spesifisitas dalam penilaian.
Ketidakseimbangan asas-asas pendididikan di sekolah dengan asas-asas pengasuhan anak di rumah acap menjadi batu sandungan kerja sama orang tua dengan sekolah. Secara eksplisit memang kurikulum yang dirancang birokrasi pendidikan di Indonesia tidak memberikan petunjuk orang tua dengan sekolah bersinergi untuk mengatasi dilema tersebut. Kendati demikian banyak sekolah yang secara sistematis dan terencana merancang keterlibatan orang tua dengan sekolah dalam urusan kurikulum dan pendampingan kepribadian. Inisiatif dan kreativitas menggarap peluang kerja sama itu sepenuhnya tergantung dari kondisi sekolah masing-masing.
Ragam Pengalaman
Perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik ke arah desentralisistik membawa perubahan pada sistem pengelolaan persekolahan. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai terjemahan langsung dari School Based Management mengemuka. Lepas dari perdebatan soal kesiapan sekolah-sekolah di Indonesia menjalankan MBS (sekolah-sekolah swasta umumnya lebih siap) maupun silang pendapat tentang kegagalan dan keberhasilan MBS di negara lain seperti Amerika (yang sudah mulai sejak 1988), tampaknya ada pemahaman yang salah kaprah tentang implementasi MBS.
Pengelolaan persekolahan yang otonom dengan melibatkan stakeholder sekolah termasuk sebagian kecil orang tua dalam komite sekolah hanya diorientasikan pada pengumpulan sumbangan/dana dan fasilitas sekolah. Ada anggapan bahwa seolah-olah komite sekolah tidak berbeda dengan BP3. Partisipasi masyarakat (orang tua) selama ini pada umumnya lebih bersifat dukungan input (baca: dana), dan bukan pada proses pendidikan sebagai inti kegiatan mendidik.
Padahal, keterlibatan orang tua dalam pendidikan di sekolah seharusnya bisa dioptimalkan ke hal-hal lain di luar urusan finansial. Larry E. Decker menyatakan bahwa ada empat model keterlibatan orang tua dan masyarakat yang mampu memberikan nilai lebih terhadap keberhasilan peserta didik. Keempat model itu adalah (1) protektif, (2) transmisi sekolah ke rumah, (3) pengayaan kurikulum, dan (4) kemitraan. Dengan demikian, sungguh terbuka peluang keterlibatan orang tua dalam kegiatan pendidikan tergantung pada pilihan model yang diambil. Keterlibatan pun dapat dilakukan secara tidak langsung di rumah (terhadap anaknya sendiri) ataupun secara langsung dengan melibatkan diri dalam program-program yang direncanakan bersama staf sekolah.
Dari sisi kurikulum, prinsip implementasi Kurikulum 2004 (KBK) setidaknya meliputi: kegiatan belajar mengajar (KBM), penilaian berbasis kelas, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. Dalam kaitannya dengan KBM, proses belajar tidak hanya berlangsung dalam lingkup sekolah saja melainkan akan berlanjut ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain, orang tua sebenarnya memiliki peluang yang besar untuk terlibat aktif dalam proses KBM, minimal terhadap anaknya sendiri.
Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selama ini diperbincangkan karena tidak segera disosialisasikan memberi peluang keterlibatan orang tua dalam pelaksanaan kurikulum. Struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah sebagaimana diatur dalam Permen di atas dibagi menjadi tiga komponen, yakni (1) mata pelajaran, (2) muatan lokal, dan (3) pengembangan diri. Pada komponen pengembangan diri dinyatakan bahwa komponen ini bukan merupakan mata pelajaran yang harus diampu oleh guru. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ini dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan social, elajar, dan pengembangan karis peserta didik. Pada titik inilah sebenarnya keterlibatan orang tua dapat dioptimakan.
Jika peluang-peluang sebagaimana dipaparkan di atas sungguh dimanfaatkan, ada banyak kesempatan mengajak dan melibatkan orang tua dalam kegiatan persekolahan (kurikulum). Kurikulum 2004 (KBK) sungguh memberi kesempatan dan keleluasaan kepada sekolah untuk mengelola – dan dalam hal ini – memberi kesempatan kepada orang tua untuk peduli dan terlibat. Keterlibatan orang tua ini dapat ditempatkan pada jam-jam efektif belajar atau pada blok waktu tertentu yang telah direncanakan secara matang oleh bagian kurikulum.
Waktu-waktu luang setelah anak-anak menempuh ulangan blok (ulangan umum) sampai dengan penerimaan rapor adalah kesempatan yang baik untuk memberikan pemahaman tentang penjurusan di SMA (IPA, IPS, BHS), program studi di Perguruan Tinggi (PT) berikut peluang-peluang kerjanya, termasuk strategi-strategi memilih dan cara-cara belajar di PT. Sering pula kegiatan seperti penyuluhan hukum, kenakalan remaja dan konsekuensinya, narkoba dan bahayanya, etika pergaulan dilakukan untuk memberi pendampingan terhadap anak sesuai tingkat kebutuhan dan konteks yang mereka hadapi.
Sebagian besar kegiatan di atas diberikan oleh orang tua siswa. Ada beberapa alumni yang juga sekaligus orang tua siswa. Pemahaman penjurusan di SMA biasa disampaikan oleh orang tua siswa yang berprofesi sebagai guru atau dosen dengan spesialisasi jurusan tertentu atau alumni yang pernah memilih jurusan tertentu semasa SMA, dan menemukan nilai-nilai lebih pada jurusan itu sehingga mendukung profesi mereka sekarang ini. Di satu sisi, sharing dari orang tua siswa, sentuhan-sentuhan motivasi yang mereka berikan tentulah sangat berbeda jika dibandingkan dengan guru-guru yang memberikan. Di sisi lain, guru memiliki kesempatan dan terbantu untuk mengoreksi, mengolah nilai, dan mencetak rapor.
Kekhasan program studi di PT berikut peluang-peluang kerjanya selalu ditunggu-tunggu oleh siswa kelas 3. Banyak orang tua siswa yang berprofesi sebagai dosen dengan spesialiasi program studi/ilmu tertentu. Pada kesempatan ini, unsur promosi PT tempat orang tua siswa berkarya akan lebih tersisihkan oleh cinta dan perhatian orang tua untuk memberikan gambaran tentang strategi belajar di PT, kekhasan program studi dan peluang kerjanya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan seorang anak kepada bapak atau ibunya.
Penyuluhan hukum, kenakalan remaja dan konsekuensinya, narkoba dan bahanyanya, atau etika pergaulan seringkali dilakukan dalam bentuk kuliah umum untuk siswa per tingkat. Materi-materi ini umumnya juga diberikan oleh orang tua siswa yang memiliki kompetensi dan profesi sesuai dengan materi kuliah umum. Setiap kali, ada saja orang tua siswa kompeten seperti pakar hukum, polisi, sipir penjara, psikolog, aktivis gerakan anti-narkoba dan memiliki relasi dengan pelaku (mantan pengguna) yang bisa dipakai sebagai model.
Pada kesempatan-kesempatan seperti ini, unsur informatif barangkali berada pada urutan yang kesekian – karena siswa kemungkinan bisa mencari referensi-referensi sendiri. Yang lebih penting, lewat kuliah umum itu terjadi dialog antara orang tua dengan anaknya. Lewat kuliah umum itu pula sekolah memberi kepercayaan dan kesempatan kepada orang tua untuk terlibat dalam pendampingan siswa. Di satu sisi, sekolah memberi ruang dialog antara orang tua dengan anak, dan di sisi lain, sekolah menempatkan orang tua sebagai penanggung jawab pokok pendidikan bagi anak-anaknya. Porsi inilah yang perlu dikedepankan jika kegiatan-kegiatan ini ingin dilakukan.
Kesempatan lain, pada saat jam-jam efektif belajar, tidak tertutup kemungkinan orang tua yang menekuni secara khusus dan ahli pada bidang studi tertentu hadir dan mengajar secara klasikal. Beberapa yang pernah dilakukan adalah pelajaran biologi (bioteknologi), bahasa Inggris (native speaker, cros culture understanding), akuntansi/ekonomi, dan matematika (kurikulum Australia). Nilai lebih dari kesempatan ini, siswa mendapatkan suasana belajar yang baru dengan keterikatan emosional tertentu (karena orang tua siswa yang mengajar), guru mendapat informasi baru (up to date), keinginan orangtua untuk memberikan sesuatu kepada sekolah dan anak-anaknya terfasilitasi. Tentulah hal ini membutuhkan perencanaan yang matang berkaitan dengan jadwal, agenda kegiatan sekolah, dan orang tua.
“Humanitas Expleta et Eloquens”
Putri pertama saya (Puella Desideria Adiartanto) bersekolah di Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-kanak (TK) Teruna Bangsa. Hal pertama yang mendorong kami (saya dan istri) memilih sekolah ini setelah survey ke sekian banyak KB/TK adalah motto/slogan yang melekat pada nama KB/TK itu: “Bersama Orang Tua Mendidik Anak”. Semboyan ini tidak berhenti sebagai slogan atau iklan pemanis penarik minat. Setiap hari, putri saya selalu pulang sekolah dengan buku “wisdom” yang berisi laporan guru atas apa yang dilakukan putri saya selama dua jam di sekolah: bagaimana sosialisasinya dengan teman, apa kemajuan yang dicapai hari itu, dan segala hal yang terjadi pada putri saya selama satu hari sekolah yang dua jam itu. Di samping laporan guru itu ada kolom yang harus setiap hari pula kami isi dan dibawa kembali ketika anak berangkat sekolah. Tanggapan atas laporan guru, harapan terhadap guru, atau bisa juga kejadian-kejadian yang dialami anak di rumah dan memerlukan perhatian guru.
Praktis semua aktivitas putri kami di sekolah bisa terpantau secara lengkap. Pun semua kegiatan putri kami di rumah juga bisa dipahami oleh guru kelas. Komunikasi timbal balik (meski hanya lewat tulisan) yang ideal untuk mendampingi anak-anak usia 4-6 tahun.
Ada satu kegiatan yang wajib diikuti oleh orang tua siswa sebulan sekali. Kegiatan ini diberi nama Waktu Belajar Bersama (WBB). WBB dilakukan sore hari dan wajib diikuti oleh orang tua siswa bersama staf guru. Ada banyak materi yang didiskusikan dalam WBB, dan materi itu berkaitan dengan program program pendampingan anak selama sebulan itu. Cara berkomunikasi dengan anak, memberi perhatian, memberi reward-punishment kepada anak di rumah adalah sebagian kecil materi WBB. Lagu-lagu “character building” yang baru bulan itu pun dilatihkan agar orang tua dapat membantu anak belajar menyanyi dan menerangkan maknanya di rumah.
Semboyan “bersama orang tua mendidik anak” bukan isapan jempol. Orang tua secara konkrit sungguh dilibatkan dalam proses pendidikan anak. Tidak jarang pula orang tua yang memiliki keahlian khusus (menari, bermain musik, berbahasa Inggris) dilibatkan dalam kegiatan belajar mengajar pagi hari.
Titik penting paparan pengalaman di atas terletak pada bagaimana upaya sekolah untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada orang tua siswa terlibat dalam proses pendidikan anak. Buku “wisdom” dan WBB hanyalah alat dan wadah keterlibatan itu, dan tentu akan memiliki kendala tersendiri jika dilaksanakan pada tataran SMP/SMA dengan murid yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Namun bukan hal yang mustahil jika diagendakan secara cermat. Pertemuan orang tua/wali siswa dengan pihak sekolah (direksi-guru-wali kelas) secara bersama-sama minimal satu tahun sekali kira bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
Informasi akademik, perkembangan studi dan perilaku siswa adalah materi penting yang bisa didialogkan dalam forum seperti ini. Tentulah forum-forum seperti ini harus menghilangkan kecurigaan bahwa sekolah akan menarik iuran sebagaimana terjadi setiap kali sekolah membuat pertemuan bersama dengan orang tua.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memberi kesempatan besar bagi terjadinya sinergi orang tua dengan sekolah dalam pendampingan anak. Berikut merupakan contoh sederhana sinergi yang sudah melembaga dan menjadi tradisi di SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Wali kelas pada awal tahun ajaran baru menyiapkan dan menyusun buku catatan kemajuan akademik dan kepribadian untuk masing-masing siswa kelas perwaliannya. Buku itu memuat berbagai informasi esensial seperti catatan presensi, nilai-nilai akademik yang disalin dari kartu perolehan nilai, kasus-kasus tentang perilaku destruktif, dan catatan-catatan tentang kebajikan-kebajikan khas setiap siswa. Berdasarkan buku tersebut wali kelas bisa mengenali dengan akurat kekuatan khas (signature strength) maupun kelemahan khas (signature weakness) masing-masing siswa yang menjadi tanggung jawab perwaliannya.
Pembagian rapor mid semester dirancang sekolah menjadi salah satu ajang pertemuan orang tua dengan wali kelas. Buku catatan kemajuan akademik dan kepribadian itulah yang dipakai sebagai bahan konsultasi tatap muka wali kelas saat bertemu dengan orang tua terutama untuk siswa-siswa perwalian yang menghadapi kesulitan. Kerja sama terjalin dengan sendirinya mengingat segala sesuatunya dimulai dialog penuh itikhad baik. Wali kelas bekerja berdasarkan data. Data-data itu selanjutnya dipakai orang tua guna memotivasi anaknya di rumah. Orang tua lalu sadar akan keterbatasan dan kelemahan anak mereka. Kemunduran akademik dan defisit kepribadian anak biasanya akibat langsung dari keteledoran orang tua yang kurang memperhatikan anak-anak mereka. Dialog anak dengan orang tua pasti bergulir karena masing-masing menyadari kelemahan mereka. Komunikasi yang berlumur amarah dan makian dengan spiral tuduh menuduh yang semakin menanjak pun bisa dihindarkan.
Perhatian guru, wali kelas, staf pendampingan (bimbingan konseling) di bawah koordinasi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan kurikulum tidak hanya terfokus pada siswa-siswa yang bermasalah secara akademik maupun kepribadian. Para siswa yang mampu menunjukkan prestasi akademik dan keutamaan kepribadian seperti kepemimpinan, seni, dan olah raga mendapatkan penghargaan berupa kaos atau jaket almamater yang didesain khusus (limited edition). Pembagian ini bisa berlangsung secara massal di hadapan para orang tua saat mereka di undang ke sekolah entah dalam acara pembagian rapor maupun pelepasan siswa kelas 3 SMA. Pembagian reward ini sangat berfaedah untuk menumbuhkan perasaan bangga dan berharga anak di hadapan orang tua mapun pendidik mereka.
Sepele ning dadi gawe (sederhana tapi bermakna). Mengapa? Karena model pendampingan siswa yang lazim diterapkan kolese-kolese di seluruh dunia itu menurut Martin E.P. Seligman (2003), guru besar psikologi Universitas Penssylvania Amerika Serikat, dalam buku Authentic Happiness, bertujuan mengeksplorasi kebajikan khas (signature strength) para siswa. Kebajikan khas siswa itu terdiri dari enam bagian. Pertama, kearifan dan pengetahuan (terdiri dari kuriositas, kecintaan belajar, keterbukaan, kecerdikan, kecerdasan sosial, horison, dan perspektif). Kedua, Keberanian (meliputi kekuatan-kekuatan perihal ketegaran, keuletan, integritas, dan ketulusan). Ketiga, humanisme (meliputi keutamaan seperti kemurahan hati dan kemampuan untuk mencintai-dicintai). Keempat, keadilan (terdiri dari sosialisasi bermasyarakat, egalitarian, dan kepemimpinan). Kelima, kebersahajaan (meliputi kemampuan mengendalikan diri, kehati-hatian, dan kerendahan hati). Keenam, spiritualitas dan transendensi (meliputi kemampuan mengapresiasi keindahan, bersyukur, menyalakan harapan, kemampuan memaafkan, humor, dan antusiasme). Muara dari pendidikan yang menyantuni kebajikan khas siswa adalah humanitas expleta et eloquens (kemanusian yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri).
Pelibatan orang tua dalam proses pendidikan menjadi sangat esensial karena pedagogi bagi para siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah menurut Martin Seligman merupakan proses menatah kebajikan khas (strengthening drift) siswa. Pedagogi jelas berbeda dengan andragogi---pendidikan untuk kaum dewasa di perguruan tinggi. Model pendampingan siswa yang menuntut keterlibatan penuh orang tua ini, meminjam kerangka berpikir Danah Zohar dan Ian Marshal (2004), dua pendidik dari Universitas Oxford Inggris, dalam buku Spiritual Capital: Wealth We can Live By Using Our Rational, Emotional, and Spiritual Intelegence to Transform Ourselves and Corporation telah menerapkan prinsip-prinsip edukasi seperti keluwesan (spontanitas), terbimbing visi dan nilai, holisme, kepedulian, pembingkaian ulang masalah, mengambil manfaat dari kemalangan, dan kerendahan hati.
Sinergi yang tidak populer, menuntut totalitas, melelahkan, dan menguras energi itu jelas bermakna, bernilai, dan mengabdi tujuan-tujuan mulia. Almarhum Bunda Theresa, orang suci dari Kalkuta, India, punya alegori yang menguatkan, meneguhkan, dan memberdayakan pendidik dan orang tua yang mau total mendampingi peserta didiknya. Alegori yang ditemukan dalam buletin lusuh SMA swasta di Khatmandu, Nepal, tempat Bunda Theressa pernah mengajar di tahun 1950-an itu berbunyi demikian, “Orang acap tak bernalar. Biar begitu maafkanlah mereka. Bila engkau baik, orang akan menuduhmu menyembunyikan motif pribadi. Biar begitu tetaplah bersikap terpuji. Bila engkau mendapat sukses, engkau bakal mendapat teman-teman palsu dan musuh-musuh sejati. Biar begitu tetaplah fokus pada keberhasilan. Bila engkau jujur orang akan menipumu. Biar begitu tetaplah jujur. Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin akan dihancurkan penjahat dalam semalam. Biar begitu tetaplah bekerja keras. Bila engkau menemukan kebahagiaan orang akan iri. Biar begitu tetaplah berbahagia. Kebaikan yang engkau lakukan hari ini dilupakan orang keesokan hari. Biar begitu tetaplah berbuat baik.” ***
0 komentar:
Posting Komentar