Prolog...

In this part of pilgrim, I pick up these scattering notes along the pathway. Whether they are friend’s words or mine that is touching and inspiring. Maybe, in these traced footprints, there are memories worth reflected, there is flame that flare up spirits, and there are inspirations that flashing imaginations. Hope you love reading my notes.

One Minute Wisdom

Spoon boy: Do not try and bend the spoon. That's impossible. Instead only try to realize the truth. Neo: What truth? Spoon boy: There is no spoon. Neo: There is no spoon? Spoon boy: Then you'll see that it is not the spoon that bends, it is only yourself.

In Memoriam Guru

Jawa Pos Minggu, 08 Des 2002
Resensi Buku
Judul: In Memoriam Guru; Pengarang: Dr. Suroso; Penerbit: Jendela, Yogyakarta; Cetakan : Pertama, Agustus 2002; Halaman: x + 220 (termasuk indeks)


KLIPING KETERPURUKAN GURU
Oleh: Prih Adiartanto, Ag.*)

Potret guru Sarmun yang dilakonkan pelawak Basuki dalam sinetron beberapa tahun lalu, itulah ilustrasi yang lebih dari tiga kali digunakan Suroso untuk menggambarkan keadaan guru. Pun nasib guru Oemar Bakri-nya Iwan Fals, tidak kurang dari lima kali pula dipakai untuk menganalogkan betapa tidak berdayanya sosok guru di Indonesia.

Berbicara tentang nasib guru di Indonesia memang tidak bisa lari dari dua ilustrasi di atas. Selalu kembali ke itu-itu juga. Klise mungkin, tapi itulah faktanya. Beragam masalah yang dihadapi guru-guru Indonesia tidak pernah beranjak dari gaji dan tunjangan hidup yang rendah, profesionalitas yang luntur, hingga penghargaan dan status sosial yang semakin tidak berarti. Apa yang salah dalam sistem pendidikan Indonesia hingga profesi guru justru mengalami kemunduran –bahkan terpuruk– dibanding zaman prakemerdekaan?

Lewat “kliping”-nya, Suroso mencoba mengurai benang ruwet pendidikan Indonesia pada umumnya dan nasib guru pada khususnya. Jika disistematisasikan, ada tiga persoalan mendasar yang dibidik Suroso dalam buku ini. Persoalan pertama berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam kerangka reformasi pendidikan. Persoalan kedua berkaitan dengan profesi guru, dan ketiga berkaitan dengan peran/posisi perguruan tinggi sebagai “pencetak” tenaga-tenaga profesional.

***

Setidaknya ada sepuluh dari 27 tulisan di buku ini yang secara intens mengkritisi kebijakan pemerintah dalam konteks reformasi pendidikan. Secara spesifik, gagasan Suroso bertitik tolak dari laporan Bank Dunia yang merekomendasikan perlunya desentralisasi pendidikan dan otonomi sekolah di Indonesia. Pemerintah perlu belajar dari gagasan Henry M. Levin tentang Accelerated School for At Risk Student yang berhasil mendongkrak kualitas pendidikan di Amerika (h.8). Atau bagaimana usaha Jepang memacu SDM yang berkualitas (h.22).

Lebih tegas lagi, pemerintah harus menghapus sistem pendidikan nasional yang terpusat; kaku; mendewakan pengetahuan – menisbikan sikap, moral, dan spiritual (h.131). Dalam kerangka desentralisasi, beban kurikulum terlalu berat (h.7); perlu dibangun kesepahaman dan kerjasama antara pemerintah, sekolah, dengan masyarakat; dan perlu tersedianya sarana-prasarana pendidikan yang memadai (h.52).

Profesionalitas guru sangat rendah. Rendahnya profesionalitas itu dipicu oleh beberapa aspek. Pertama, IKIP/LPTK sebagai “pencetak” guru selalu kebagian mahasiswa “sia-sia” (h.40), mahasiswa yang tidak diterima di universitas favorit, tidak bermotivasi menjadi guru, dan sekedar kuliah daripada menganggur. Kedua, tunjangan kesejahteraan guru sangat rendah. Tidak sedikit guru harus nyambi tukang ojek, pencari rumput, atau bercocok tanam untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup minimalnya (h. 41). Ketiga, karena ketiadaan dana itulah maka guru tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan diri melalui diklat, seminar, membaca koran, menulis, atau bahkan mengadakan penelitian. Setidaknya ada delapan tulisan yang secara spesifik berbicara soal guru. Semuanya bermuara pada tingkat kesejahteraan dan berimbas pada citra dan profesionalitas guru.

Perguruan tinggi ikut andil terhadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Secara panjang lebar, Suroso mempersoalkan tradisi dan sikap ilmiah yang kurang dibangun di lembaga pendidikan tinggi. Bukan hanya mahasiswa tetapi juga dosen yang tidak memiliki motivasi untuk meneliti. Keadaan ini lebih diperparah lagi dengan munculnya kasus jiplak-menjiplak skripsi/tesis. Persoalannya bukan lagi sekedar sikap dan tradisi ilmiah tetapi sudah merambah etika akademik profesional (h.208).

Ada satu tulisan panjang dan cukup mengganggu untuk memahami buku ini secara utuh. Teaching and Learning in the Elementary School (h.87-115) sebenarnya terlalu jauh untuk dikaitkan dengan ke-26 tulisan lainnya. Tulisan ini tampaknya sebuah book review dengan gaya bahasa dan gaya penulisan yang lain sekali. Kesan yang muncul, tulisan ini sekedar ditempelkan begitu saja.

***

Amat disayangkan, kumpulan tulisan yang banyak merekam fakta dan data-data kronisnya guru dan pendidikan Indonesia ini tidak disusun secara sistematis. Tiga sasaran dan ruang lingkup pembicaraan di atas kiranya dapat dipakai untuk mengurutkan gagasan dalam buku ini. Ketidaksistematisan itu juga belum terjembatani oleh kata pengantar Prof. Dr. Sabarti Akhadiah. Kata pengantar tersebut belum berfungsi sebagai benang merah antara ide tulisan satu dengan ide tulisan lain, sehingga tidak mudah memahami kumpulan tulisan ini sebagai sesuatu yang utuh-padu.

Editor tampaknya harus bekerja lebih keras memoles tulisan-tulisan yang sudah tidak baru lagi –untuk tidak menyebut basi—agar sedap dibaca sebagai sebuah buku. Kerja keras editor juga perlu diarahkan pada kesalahan-kesalahan ketik yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena buku ini adalah kliping tulisan yang pernah dipublikasikan di media massa, menjadi lebih bijaksana jika sumber tulisan dan waktu pemuatannya disertakan di akhir buku.

Ada kekhawatiran ketika mencermati judul buku dan menyimak profil guru yang diidealkan di dalamnya. Sosok guru yang diangankan Suroso adalah guru yang kurang dihargai masyarakat karena pemerintah kurang mengkondisikan untuk itu (h.60). Guru yang setiap kali dijemput siswanya, dibawakan buku dan tasnya, dituntunkan sepedanya; pendeknya guru yang selalu mendapat bungkukan kepala siswa dan orang tuanya (h.72,118,157). Jika sosok guru seperti itu yang diangankan, benarlah adanya bahwa guru itu sudah mati. Lebih tegas lagi, sosok guru seperti itu hanya ada di zaman feodal. Pertanyaannya, relevankah profil guru seperti itu untuk jaman sekarang?

Menilai citra dan profesionalitas guru sekarang ini semakin surut adalah kenyataan. Tetapi meneriakkan dengan lantang bahwa guru kini tinggal nama –in memoriam—tampaknya terlalu berlebihan. Kliping keterpurukan guru Indonesia dari waktu ke waktu karena lunturnya profesionalisme dan kecendekiaannya adalah realita yang layak dicermati –sekaligus sebagai nilai lebih dari buku ini.***
*) Penulis adalah Guru SMU Kolese de Britto Yogyakarta dan editor free lance

0 komentar:

Posting Komentar