Prolog...

In this part of pilgrim, I pick up these scattering notes along the pathway. Whether they are friend’s words or mine that is touching and inspiring. Maybe, in these traced footprints, there are memories worth reflected, there is flame that flare up spirits, and there are inspirations that flashing imaginations. Hope you love reading my notes.

One Minute Wisdom

Spoon boy: Do not try and bend the spoon. That's impossible. Instead only try to realize the truth. Neo: What truth? Spoon boy: There is no spoon. Neo: There is no spoon? Spoon boy: Then you'll see that it is not the spoon that bends, it is only yourself.

The "Chicago" Prophecy

The “Chicago” Prophecy
Ag. Prih Adiartanto
Perjalanan seorang lelaki dalam mencari manuskrip Celestine di pedalaman hutan dan pegunungan Peru itu penuh keringat, darah, dan air mata. Sepanjang perjalanan dan petualangannya mencari manuskrip, ia mempelajari satu demi satu wawasan dalam manuskrip kuno yang berhasil ditemukannya. Wawasan spiritual baru, wawasan kosmologi baru adalah buah peziarahan dan pergulatannya memahami manuskrip itu. Satu per satu wawasan itu memberinya inspirasi bagaimana menemukan jati diri (real vision), energi, hubungan intrapersonal, dan hubungan ekstrapersonal. Sampai pada akhirnya, pemerintah Peru didukung pihak gereja pimpinan Kardinal Sebastian berupaya memusnahkan manuskrip kuno yang berisi sembilan wawasan rahasia –tentang tuntunan ke dalam kehidupan spiritual yang lebih tinggi dan menciptakan transformasi saat manusia berhasil mencapai tingkatan tersebut—dan menjebloskan lelaki itu ke penjara. Begitulah James Redfield berkisah dalam novelnya, The Celestine Prophecy.

Perjalanan sekaligus pergulatan batin saya selama dua bulan di Chicago pun layaknya kisah yang dialami lelaki tokoh utama dalam novel tersebut: menemukan spirit baru, wawasan (paradigma) baru. Sungguh tepatlah jika pada final presentation Instructional Strategies di depan Dr. Boyle dan beberapa professor School of Education Loyola University Chicago saya memberi tajuk presentasi itu: “Here is My Real Retreat”.

Sharpen the saw

Kesempatan belajar kembali yang sungguh saya rindukan setelah dua belas tahun bekerja sebagai guru adalah anugerah yang luar biasa bagi saya. Rasanya, gergaji saya sudah terlalu tumpul dengan rutinitas mengajar dan urusan administratif yang tiada habis-habisnya. Maka ketika kesempatan itu datang, saya mengambilnya dengan kesadaran penuh. Inilah kesempatan bagi saya untuk mengasah gergaji.


Kendala sudah pasti ada. Persoalan keluarga, keterbatasan bahasa Inggris, urusan administrasi dan pekerjaan di sekolah adalah konsekuensi yang harus saya pahami dan siasati. Dukungan keluarga, sekolah, yayasan dan para kolega adalah spirit yang terus mendorong saya untuk mengambil kesempatan ini. Persoalan masih muncul hingga keberangkatan saat transit di bandara Hongkong. Berita kecelakaan kakak ipar yang merenggut tiga anggota keluarga dan tinggal dua anak kecil yang masih usia balita adalah cobaan dan syukurlah dapat dilewati istri dan anak-anak saya di Yogya dengan sangat tabah. Terima kasih Tuhan, Engkau mengaruniakan orang-orang yang sungguh baik dan selalu mendukung.

Keberanian berkomunikasi dengan orang lain; kesempatan memanfaatkan internet di perpustakaan untuk searching journal-journal yang luar biasa kaya, lengkap, dan beragam; pergualatan memahami konsep constructivism dan nine high-yield-nya Marzano dalam Classroom Instruction That Works: Research Based Strategi for Increasing Student Achievement adalah beberapa contoh pergulatan dalam mengasah gergaji.

Finding God in all things

Dua bulan ini adalah kesempatan untuk mengingat dan mengulang kembali apa yang pernah saya pelajari dulu di bangku kuliah. Perjumpaan dengan Dr. Boyle di ruang kuliah tiga hari per minggu selalu mendorong saya untuk merefleksikan apakah saya sebagai guru selalu mengajar murid-murid dengan paradigma konstruktivis? Lewat model-model cara mengajar yang beliau praktikkan selalu membawa saya pada pertanyaan apakah ketika menggunakan sebuah metode, saya sungguh menyadari, saya sungguh merencanakan, dan saya sunguh mengarahkan pada tujuan-tujuan yang baik? Ataukah saya menggunakan metode-metode itu karena saya tidak punya persiapan yang cukup untuk mengajar? Saya sedang tidak ingin mengajar? Saya ingin mengerjakan pekerjaan pribadi dan saya hanya mencari-cari metode yang menguntungkan posisi saya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berkecamuk dalam hati di setiap akhir kuliah saat menikmati sepotong pizza dan segelas capucino di Nina’s place, cafetaria favorit kami, satu-satunya cafeteria campus yang buka pada summer ini.

Mata saya dibuka setiap kali kami berkunjung ke sekolah-sekolah dalam school visit program. Benarkah selama ini saya sungguh total mendampingi siswa sebagaimana guru-guru St. Gregory High School yang penuh dedikasi dan peduli pada murid? Saya mendapat pengalaman dan pemahaman baru bagaimana sekolah membangun dan mengembangkan kurikulum yang mandiri sebagaimana obsesi saya saat ini. Mata saya dicelikkan, bagaimana kultur sekolah (school culture) dan corporate culture dibangun dan dihidupi di St. Scholastica Academy dan St. Ignatius Prep School. Bagaimana membangun atmosfer bahwa sekolah, ruang-ruang kelas adalah tempat yang nyaman bagi siswa dan guru untuk berekspresi, bereksplorasi, mengasah daya nalar, mengembangkan daya analitis dengan gembira, bebas namun tetap dalam iklim akademik layaknya kelas gerbong kereta ala Totto Chan sebagaimana terlihat di Loyola Academy.

Setiap Minggu, di kapel Madonna Della Strada, saya selalu mendapat inspirasi dan bahan meditasi lewat kotbah pastor yang tidak terlalu panjang dan selalu menyentuh dalam setiap perayaan ekaristi. Pernyataan sekaligus pertanyaan reflektif itu selalu mengusik saya untuk menjawab bahkan hingga beberapa hari kemudian. Hingga detik ini, masih saya ingat dengan jelas bagaimana P. Patrick Fairbanks SJ memberikan tiga term: return-repeat-refresh dalam dinamika kehidupan sahari-hari. Tiga term itu pulalah representasi keberadaan saya di Chicago selama dua bulan ini.

Di tempat ini saya merasa diajak atau lebih tepatnya “dipaksa” melihat kembali perjalanan hidup ke-guru-an saya. Saya diajak mengulang kembali pemahaman bekal-bekal ilmu pedagogi yang pernah saya pelajari di bangku kuliah. Lewat pertemuan dengan Dr. Boyle di ruang kelas, saya disegarkan kembali bagaimana saya memahami metode-metode mengajar dan menggunakannya secara terencana, tepat dan terarah pada pencapaian tujuan. Bukan sesuatu yang baru memang, tetapi justru pada kesempatan inilah saya harus berani menelanjangi diri saya apakah pemahaman saya selama ini benar? Apakah saya menerapkan pemahaman tersebut dengan memperhatikan pencapaian tujuan yang lebih optimal?

Dalam dua bulan ini saya mampu melihat kebajikan, kebijaksanaan, dan kasih Allah setiap hari. Entah apa yang terjadi, di tempat ini setiap hari menjadi sangat berarti dan bermakna bagi saya. Saya selalu mendapatkan pengalaman, inspirasi, dan spirit baru ketika harus berdesakan di CTA line 147. Ketika harus berjalan malam-malam di bawah hujan untuk mencapai Thai Resto, atau menemani seorang kawan membeli Coca-Cola saat kejenuhan datang menggoda di mini market Seven Eleven. Ketika bertemu dengan mereka-mereka yang sangat perhatian dan luar biasa: melalui empati, totalitas sekaligus kesederhanaan Father Justin Daffron; lewat obrolan, guyonan, dan persahabatan Karnell Black dan Nick; lewat dedikasi Mary Theis, lewat kharisma, pertanyaan-pertanyaan mengejutkan sekaligus reflektif dan canda inteleknya Father Garanzini (President LUC), juga lewat keindahan, kebersihan, keteraturan dan keramahan kota Chicago.

Di tempat inilah saya memahami dan mulai mengerti apa makna Finding God in all things dalam pengalaman nyata. Di tempat ini pula saya sampai pada kesadaran arti wawasan pertama dari The Celestine Prophecy: segala yang terjadi di dunia ini bukan sesuatu yang kebetulan. Ada “tangan” yang mengaturnya, jika kita bisa menemukan dan bicara dengan orang yang tepat. Sungguh saya bersyukur memiliki pembimbing dan sahabat: para romo tim ad hoc ISEDP, sebelas teman senasib dengan segala kekhasannya.

The Tenth Insight

Perjalanan belum selesai, masih ada wawasan kesepuluh yang belum ditemukan. Masih ada The Tenth Insight. Dalam novel lanjutannya Redfield mempertemukan tokoh laki-laki (utama) dengan orang-orang yang memiliki kaitan dengan diri sang tokoh utama dalam kehidupan sebelumnya. Tokoh-tokoh itu dipertemukan agar bisa saling membantu dalam menyelesaikan berbagai emosi dari kehidupan yang dulu, yang masih mengganggu sampai saat ini, mereka juga belajar saling mendukung untuk melihat visi kelahiran masing-masing, berbagi energi cinta kasih untuk mewujudkan visi itu.

Kami berdua belas telah dipertemukan dan sama-sama berjuang selama dua bulan di Chicago. Perjalanan kami pun belum selesai. Sama seperti sang lelaki, tokoh utama novel yang setiap kali harus bergulat batin: maju terus atau menyerah, merasa sendiri, merasa lelah; saya pun mengalami hal yang sama, entah pada saat-saat persiapan sebelum berangkat, juga selama dua bulan di Chicago. Saya berharap masih dapat mengambil bagian dalam team ini: berbagai energi cinta kasih untuk mewujudkan visi. Saya masih ingin berjuang dan menemukan “the tenth insight” di “the windy city”.

Pengetahuan yang baru serba sedikit ini sudah saya coba bagikan kepada kolega-kolega saya. “A little knowledge that acts is worth infinitely more than much knowledge that is idle”, kata Kahlil Gibran. Dan di sana tergambar jelas betapa susahnya memberi wawasan baru kepada orang yang tidak melihatnya secara langsung, tidak mengalami apalagi membadankannya. Seeing is beliving. Kiranya tepatlah pesan James Redfield di dalam novelnya yang juga membawa inspirasi bagi Renald Kasali dalam bukunya Change! bahwa “to change the world, we first had to change our selves”. Dan ini sangat tidak mudah bagi saya. Sama susahnya meningkatkan skor Toefl, sama beratnya ketika kali pertama kami tiba di Bandara Chicago dan berhadapan dengan petugas imigrasi. Setidaknya saya ingin merealisasikan apa yang dikatakan spiritualis terkemuka dan fenomenal di kalangan New Age dalam buku Human Potential Movement: “your attitudes create the world”. Bagaimana saya bisa menjadi teladan dalam mendidik dan mendampingi siswa bagi kolega-kolega saya di Kolese. Namun saya sungguh sepakat dengan pesan Paulo Coelho dalam The Alchemist – alam semesta akan membantu jika seseorang mengharapkan sesuatu dengan sepenuh hati dan berusaha mendapatkan dengan sungguh-sungguh.

Inilah retret panjang. Real retreat. Wawasan, spirit, paradigma yang saya temukan bukan lagi novel fiksi The Celestine Prophecy tetapi realita, The “Chicago” Prophecy. Dan di akhir retret ini, api itu telah menyala: Ignem veni mittere in terram et quit volo nisi ut accendatur (Luk. 12:49). Aku datang untuk melempar api ke bumi dan betapa aku ingin api itu terus menyala! Pun, api itu kini telah menyala dalam dada, meski baru pijar kecil. Saya ingin api itu terus menyala dan berkobar.

Semoga***

0 komentar:

Posting Komentar